Kamis, 14 Februari 2013

nata de soya


Kata nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim. Nata diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai natare yang berarti terapung-apung (Nata De Coco Indonesia, 2011).
Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa dan limbah cair pengolahan tahu. Nata yang dibuat dari air kelapa disebut dengan nata de coco, dan dari limbah cair tahu disebut dengan nata de soya. Bentuk, warna, dan rasa kedua jenis nata tersebut tidak berbeda (Rizka & Ninda, 2008 dalam Legiyon, 2011 ). Menurut Mulyati, 2010 dalam Pratiwiningrum, 2011, dari segi rasa nata de coco hampir sama dengan nata de cassava, yang membedakan adalah kekenyalannya karena kandungan serat nata de cassava yang lebih tinggi. Seperti halnya dengan nata de cassava, nata de soya juga memiliki kandungan serat yang tinggi. Kandungan serat nata de coco dan nata de  soya berturut–turut yaitu 8,51 % dan 10,60 % (Sutriah dan Sjahriza, 2000 dalam Legiyon, 2011).
Nata de soya adalah selulosa yang mengandung air sekitar 98% dengan tekstur kenyal, kokoh, putih, dan transparan dengan rasa yang mirip kolang-kaling. Produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan yang rendah kalori untuk keperluan diet dan mengandung serat yang sangat dibutuhkan dalam proses fisiologi (Cahyadi, 2009).
Menurut hasil analisis gizi, nata de soya tergolong produk pangan yang bergizi tinggi terutama pada kandungan karbohidrat, protein dan serat kasar. Data tersebut membuktikan bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mengubah air limbah tahu yang tidak bernilai menjadi suatu produk bernilai gizi tinggi (Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011). Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dalam 100 gram
(Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011 )

Zat Gizi(satuan)
Nata De Soya
Air Limbah Tahu
Karbohidrat (g)
20
2
Protein (g)
2,35
1,75
Lemak (g)
1,68
1,25
Serat Kasar (g)
3,2
0,001
Kalsium (mg)
4,6
4,5

Pembentukan nata de soya terjadi karena proses pengambilan glukosa dari dalam limbah cair tahu oleh sel-sel Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk prekusor pada membran sel dan bersama enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Cahyadi, 2009).
Produk gel terbentuk melalui mekanisme biokonversi oleh mikrobia yaitu proses perubahan substrat menjadi suatu substansi menyerupai benang-benang polisakarida (Stainer et al, 1963 dalam KNLH, 2007). Substrat yang biasa digunakan sebagai media pembentukan nata antara lain air kelapa, sari nenas, limbah cair tahu dan lainnya atau bahan-bahan lain yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan bakteri pembentuk gel. Bila bakteri tersebut ditumbuhkan pada media tersebut yang mengandung gula, maka bakteri akan mengkonversi sekitar 19 % gula tersebut menjadi selulosa (gel). Gel yang dihasilkan merupakan polimer dari gula ikatan 1,4–glukosa glukosida (Atyh et al, 1995 dalam KNLH, 2007). Selulosa yang disekresikan ke medium berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk suatu jalinan membentuk menyerupai kristal putih (Djide, 1994 dalam KNLH, 2007).
Proses pembentukan gel dimulai dengan proses kimiawi yaitu glikolisis. Karbohidrat yang berasal dari medium dihidrolisis melalui cara asam (asam asetat) maupun secara enzimatis yang merupakan penyusunan polisakarida selulosa (Yusuf, 1992 dalam KNLH, 2007). Sukrosa pada proses glikolisis dengan hidrolisis asam menghasilkan D-glukosa dan D-fruktosa. Secara sederhana proses pembentukan selulosa secara kimiawi dapat digambarkan :
Text Box: C12H12O11     +    H2O
Karbohidrat



Karbohidrat yang ada dalam media dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana misalnya menjadi glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel-sel mikrobia. Bila dalam media konsentrasi karbohidrat kurang, maka kemampuan mikrobia untuk membentuk gel tidak berjalan dengan optimal bahkan mengalami kegagalan.
Secara teoritis pembentukan selulosa cukup unik, karena bakteri mensintesis alat pelindung diri untuk mencegah terhadap faktor lingkungan yang kurang menguntungkan dengan cara menjerat diri dalam selulosa yang dibentuknya, tetapi cara ini tidak selamanya menguntungkan karena penjeratan yang terlalu ketat justru dapat mematikan bakteri itu sendiri karena tidak tersedianya faktor kehidupan cukup untuk berlangsungnya aktivitas bakteri manakala selulosa telah menebal.
Nampak bahwa proses secara biokimiawi ini dapat dibentuk manakala terdapat pemicu reaksi berupa enzimatis. Sumber enzimatis ini dapat diperoleh melalui kegiatan metabolisme suatu mikrobia. Terlihat bahwa tanpa adanya reaksi kimia yang memicu, maka proses pembentukan gel ini tidak terjadi. Reaksi selanjutnya dapat berlangsung melalui bantuan D-glukosidase, D-glukosa dihidrolisis lagi menjadi D-glukosida. Tiap monomer yang terbentuk dalam siklus pentosa posfat, diaktifkan oleh ATP membentuk D-glukosa 6-P. Selanjutnya senyawa kompleks lipida terbentuk dieksresikan melalui membran sel ke media sebagai metabolit sekunder. Melalui D-glukosidase yang digandengkan dengan monomer D-glukosa secara anhidropolimerisasi membentuk 1,4 D-glukosida. Senyawa tersebut adalah selulosa ekstraseluler yang menyerupai gel (Moat, 1977 dalam KNLH, 2007).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel diantaranya :
1.      Sumber karbon merupakan faktor penting terhadap pembentukan gel. Menurut Suratiningsih (1994) dalam Nurhayati (2006), bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mensintesis nata dari glukosa, maltosa, maupun gliserol. Macam dan kadar gula yang ditambahkan akan mempengaruhi ketebalan dan sifat nata yang terbentuk. Sukrosa sering digunakan sebagai sumber karbon, karena merupakan gula lokal, harganya murah dan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal. Penambahan gula 5-8 % dapat memicu pertumbuhan optimal bakteri. Penambahan gula terlalu banyak kurang menguntungkan, selain mengganggu aktivitas bakteri juga mengakibatkan penurunan pH secara drastis (KNLH, 2007).
2.      Sumber nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yang dapat diperoleh dari yeast ekstrak, natrium nitrat, urea, ammonium sulfat. Di dalam fermentasi apabila nitrogen tidak tersedia maka nata tidak akan terbentuk (Nurhayati, 2006).
3.      Tingkat keasaman media fermentasi juga berpengaruh terhadap hasil nata. Menurut Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), semakin rendah pH media fermentasi diperoleh nata yang semakin tebal. Hal ini disebabkan semakin terseleksinya pertumbuhan mikroba akibat turunnya pH, maka Acetobacter xylinum akan semakin sedikit mendapat saingan dengan mikroba yang lain untuk mendapat nutrien dari media pertumbuhannya. Banyak penelitian setuju bahwa pH optimum untuk menghasilkan selulosa antara pH 4 sampai 6 dengan nilai maksimum pada 5 sampai 5,5 (Hestrin et al., 1954, Lapuz et al., 1967, Masaoka et al., 1993, Embuscado et al., 1994 dalam Hafzialman, 2011).
4.      Suhu juga merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter, hal ini mengingat bahwa mikroba tertentu mempunyai suhu optimum untuk bisa hidup. Menurut Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), suhu inkubasi fermentasi sangat berpengaruh terhadap pembentukan nata. Suhu inkubasi 28–31 ⁰C merupakan suhu optimal bagi pembentukan nata yang akan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal.
5.      Kebutuhan oksigen, bakteri Acetobacter xylinum bersifat aerob sehingga selama fermentasi diperlukan keberadaan oksigen (KNLH, 2007).Kata nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim. Nata diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai natare yang berarti terapung-apung (Nata De Coco Indonesia, 2011). Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa dan limbah cair pengolahan tahu. Nata yang dibuat dari air kelapa disebut dengan nata de coco, dan dari limbah cair tahu disebut dengan nata de soya. Bentuk, warna, dan rasa kedua jenis nata tersebut tidak berbeda (Rizka & Ninda, 2008 dalam Legiyon, 2011 ). Menurut Mulyati, 2010 dalam Pratiwiningrum, 2011, dari segi rasa nata de coco hampir sama dengan nata de cassava, yang membedakan adalah kekenyalannya karena kandungan serat nata de cassava yang lebih tinggi. Seperti halnya dengan nata de cassava, nata de soya juga memiliki kandungan serat yang tinggi. Kandungan serat nata de coco dan nata de  soya berturut–turut yaitu 8,51 % dan 10,60 % (Sutriah dan Sjahriza, 2000 dalam Legiyon, 2011).
Nata de soya adalah selulosa yang mengandung air sekitar 98% dengan tekstur kenyal, kokoh, putih, dan transparan dengan rasa yang mirip kolang-kaling. Produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan yang rendah kalori untuk keperluan diet dan mengandung serat yang sangat dibutuhkan dalam proses fisiologi (Cahyadi, 2009).
Menurut hasil analisis gizi, nata de soya tergolong produk pangan yang bergizi tinggi terutama pada kandungan karbohidrat, protein dan serat kasar. Data tersebut membuktikan bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mengubah air limbah tahu yang tidak bernilai menjadi suatu produk bernilai gizi tinggi (Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011). Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dalam 100 gram
(Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011 )

Zat Gizi(satuan)
Nata De Soya
Air Limbah Tahu
Karbohidrat (g)
20
2
Protein (g)
2,35
1,75
Lemak (g)
1,68
1,25
Serat Kasar (g)
3,2
0,001
Kalsium (mg)
4,6
4,5

Pembentukan nata de soya terjadi karena proses pengambilan glukosa dari dalam limbah cair tahu oleh sel-sel Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk prekusor pada membran sel dan bersama enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Cahyadi, 2009).
Produk gel terbentuk melalui mekanisme biokonversi oleh mikrobia yaitu proses perubahan substrat menjadi suatu substansi menyerupai benang-benang polisakarida (Stainer et al, 1963 dalam KNLH, 2007). Substrat yang biasa digunakan sebagai media pembentukan nata antara lain air kelapa, sari nenas, limbah cair tahu dan lainnya atau bahan-bahan lain yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan bakteri pembentuk gel. Bila bakteri tersebut ditumbuhkan pada media tersebut yang mengandung gula, maka bakteri akan mengkonversi sekitar 19 % gula tersebut menjadi selulosa (gel). Gel yang dihasilkan merupakan polimer dari gula ikatan 1,4–glukosa glukosida (Atyh et al, 1995 dalam KNLH, 2007). Selulosa yang disekresikan ke medium berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk suatu jalinan membentuk menyerupai kristal putih (Djide, 1994 dalam KNLH, 2007).
Proses pembentukan gel dimulai dengan proses kimiawi yaitu glikolisis. Karbohidrat yang berasal dari medium dihidrolisis melalui cara asam (asam asetat) maupun secara enzimatis yang merupakan penyusunan polisakarida selulosa (Yusuf, 1992 dalam KNLH, 2007). Sukrosa pada proses glikolisis dengan hidrolisis asam menghasilkan D-glukosa dan D-fruktosa. Secara sederhana proses pembentukan selulosa secara kimiawi dapat digambarkan :
Text Box: C12H12O11     +    H2O
Karbohidrat



Karbohidrat yang ada dalam media dipecah menjadi senyawa-senyawa sederhana misalnya menjadi glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel-sel mikrobia. Bila dalam media konsentrasi karbohidrat kurang, maka kemampuan mikrobia untuk membentuk gel tidak berjalan dengan optimal bahkan mengalami kegagalan.
Secara teoritis pembentukan selulosa cukup unik, karena bakteri mensintesis alat pelindung diri untuk mencegah terhadap faktor lingkungan yang kurang menguntungkan dengan cara menjerat diri dalam selulosa yang dibentuknya, tetapi cara ini tidak selamanya menguntungkan karena penjeratan yang terlalu ketat justru dapat mematikan bakteri itu sendiri karena tidak tersedianya faktor kehidupan cukup untuk berlangsungnya aktivitas bakteri manakala selulosa telah menebal.
Nampak bahwa proses secara biokimiawi ini dapat dibentuk manakala terdapat pemicu reaksi berupa enzimatis. Sumber enzimatis ini dapat diperoleh melalui kegiatan metabolisme suatu mikrobia. Terlihat bahwa tanpa adanya reaksi kimia yang memicu, maka proses pembentukan gel ini tidak terjadi. Reaksi selanjutnya dapat berlangsung melalui bantuan D-glukosidase, D-glukosa dihidrolisis lagi menjadi D-glukosida. Tiap monomer yang terbentuk dalam siklus pentosa posfat, diaktifkan oleh ATP membentuk D-glukosa 6-P. Selanjutnya senyawa kompleks lipida terbentuk dieksresikan melalui membran sel ke media sebagai metabolit sekunder. Melalui D-glukosidase yang digandengkan dengan monomer D-glukosa secara anhidropolimerisasi membentuk 1,4 D-glukosida. Senyawa tersebut adalah selulosa ekstraseluler yang menyerupai gel (Moat, 1977 dalam KNLH, 2007).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel diantaranya :
1.      Sumber karbon merupakan faktor penting terhadap pembentukan gel. Menurut Suratiningsih (1994) dalam Nurhayati (2006), bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mensintesis nata dari glukosa, maltosa, maupun gliserol. Macam dan kadar gula yang ditambahkan akan mempengaruhi ketebalan dan sifat nata yang terbentuk. Sukrosa sering digunakan sebagai sumber karbon, karena merupakan gula lokal, harganya murah dan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal. Penambahan gula 5-8 % dapat memicu pertumbuhan optimal bakteri. Penambahan gula terlalu banyak kurang menguntungkan, selain mengganggu aktivitas bakteri juga mengakibatkan penurunan pH secara drastis (KNLH, 2007).
2.      Sumber nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum yang dapat diperoleh dari yeast ekstrak, natrium nitrat, urea, ammonium sulfat. Di dalam fermentasi apabila nitrogen tidak tersedia maka nata tidak akan terbentuk (Nurhayati, 2006).
3.      Tingkat keasaman media fermentasi juga berpengaruh terhadap hasil nata. Menurut Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), semakin rendah pH media fermentasi diperoleh nata yang semakin tebal. Hal ini disebabkan semakin terseleksinya pertumbuhan mikroba akibat turunnya pH, maka Acetobacter xylinum akan semakin sedikit mendapat saingan dengan mikroba yang lain untuk mendapat nutrien dari media pertumbuhannya. Banyak penelitian setuju bahwa pH optimum untuk menghasilkan selulosa antara pH 4 sampai 6 dengan nilai maksimum pada 5 sampai 5,5 (Hestrin et al., 1954, Lapuz et al., 1967, Masaoka et al., 1993, Embuscado et al., 1994 dalam Hafzialman, 2011).
4.      Suhu juga merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan bakteri Acetobacter, hal ini mengingat bahwa mikroba tertentu mempunyai suhu optimum untuk bisa hidup. Menurut Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), suhu inkubasi fermentasi sangat berpengaruh terhadap pembentukan nata. Suhu inkubasi 28–31 ⁰C merupakan suhu optimal bagi pembentukan nata yang akan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal.
5.      Kebutuhan oksigen, bakteri Acetobacter xylinum bersifat aerob sehingga selama fermentasi diperlukan keberadaan oksigen (KNLH, 2007).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar