Kata nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim. Nata diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai natare yang berarti terapung-apung (Nata De Coco Indonesia, 2011). Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa dan limbah cair pengolahan tahu. Nata yang dibuat dari air kelapa disebut dengan nata de coco, dan dari limbah cair tahu disebut dengan nata de soya. Bentuk, warna, dan rasa kedua jenis nata tersebut tidak berbeda (Rizka & Ninda, 2008 dalam Legiyon, 2011 ). Menurut Mulyati, 2010 dalam Pratiwiningrum, 2011, dari segi rasa nata de coco hampir sama dengan nata de cassava, yang membedakan adalah kekenyalannya karena kandungan serat nata de cassava yang lebih tinggi. Seperti halnya dengan nata de cassava, nata de soya juga memiliki kandungan serat yang tinggi. Kandungan serat nata de coco dan nata de soya berturut–turut yaitu 8,51 % dan 10,60 % (Sutriah dan Sjahriza, 2000 dalam Legiyon, 2011).
Nata de soya adalah selulosa yang mengandung air sekitar
98% dengan tekstur kenyal, kokoh, putih, dan transparan dengan rasa yang mirip
kolang-kaling. Produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan yang rendah
kalori untuk keperluan diet dan mengandung serat yang sangat dibutuhkan dalam
proses fisiologi (Cahyadi, 2009).
Menurut
hasil analisis gizi, nata de soya tergolong
produk pangan yang bergizi tinggi terutama pada kandungan karbohidrat,
protein dan serat kasar. Data tersebut membuktikan bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mengubah air
limbah tahu yang tidak bernilai menjadi suatu produk bernilai gizi tinggi
(Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011). Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel
2.2 Kandungan gizi nata de soya dan
air limbah tahu dalam 100 gram
(Enie
& Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011 )
Zat Gizi(satuan)
|
Nata
De Soya
|
Air Limbah Tahu
|
Karbohidrat
(g)
|
20
|
2
|
Protein
(g)
|
2,35
|
1,75
|
Lemak
(g)
|
1,68
|
1,25
|
Serat
Kasar (g)
|
3,2
|
0,001
|
Kalsium
(mg)
|
4,6
|
4,5
|
Pembentukan nata de soya terjadi karena proses pengambilan glukosa dari dalam
limbah cair tahu oleh sel-sel Acetobacter
xylinum. Kemudian glukosa tersebut
digabungkan dengan asam lemak membentuk prekusor pada membran sel dan bersama
enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Cahyadi, 2009).
Produk
gel terbentuk melalui mekanisme
biokonversi oleh mikrobia yaitu proses perubahan substrat menjadi suatu
substansi menyerupai benang-benang polisakarida (Stainer et al, 1963 dalam KNLH, 2007). Substrat yang biasa digunakan
sebagai media pembentukan nata antara
lain air kelapa, sari nenas, limbah cair tahu dan lainnya atau bahan-bahan lain
yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan bakteri pembentuk gel. Bila bakteri
tersebut ditumbuhkan pada media tersebut yang mengandung gula, maka bakteri
akan mengkonversi sekitar 19 % gula tersebut menjadi selulosa (gel). Gel yang
dihasilkan merupakan polimer dari gula ikatan 1,4–glukosa glukosida (Atyh et al, 1995 dalam KNLH, 2007). Selulosa yang disekresikan ke medium
berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk
suatu jalinan membentuk menyerupai kristal putih (Djide, 1994 dalam KNLH, 2007).
Proses pembentukan gel dimulai dengan
proses kimiawi yaitu glikolisis. Karbohidrat yang berasal dari medium
dihidrolisis melalui cara asam (asam asetat) maupun secara enzimatis yang
merupakan penyusunan polisakarida selulosa (Yusuf, 1992 dalam KNLH, 2007).
Sukrosa pada proses glikolisis dengan hidrolisis asam menghasilkan D-glukosa
dan D-fruktosa. Secara sederhana proses pembentukan selulosa secara kimiawi
dapat digambarkan :
Karbohidrat yang ada dalam media dipecah
menjadi senyawa-senyawa sederhana misalnya menjadi glukosa untuk digunakan
sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel-sel mikrobia. Bila dalam media
konsentrasi karbohidrat kurang, maka kemampuan mikrobia untuk membentuk gel
tidak berjalan dengan optimal bahkan mengalami kegagalan.
Secara teoritis pembentukan selulosa
cukup unik, karena bakteri mensintesis alat pelindung diri untuk mencegah
terhadap faktor lingkungan yang kurang menguntungkan dengan cara menjerat diri
dalam selulosa yang dibentuknya, tetapi cara ini tidak selamanya menguntungkan
karena penjeratan yang terlalu ketat justru dapat mematikan bakteri itu sendiri
karena tidak tersedianya faktor kehidupan cukup untuk berlangsungnya aktivitas
bakteri manakala selulosa telah menebal.
Nampak bahwa proses secara biokimiawi
ini dapat dibentuk manakala terdapat pemicu reaksi berupa enzimatis. Sumber
enzimatis ini dapat diperoleh melalui kegiatan metabolisme suatu mikrobia.
Terlihat bahwa tanpa adanya reaksi kimia yang memicu, maka proses pembentukan
gel ini tidak terjadi. Reaksi selanjutnya dapat berlangsung melalui bantuan
D-glukosidase, D-glukosa dihidrolisis lagi menjadi D-glukosida. Tiap monomer
yang terbentuk dalam siklus pentosa posfat, diaktifkan oleh ATP membentuk
D-glukosa 6-P. Selanjutnya senyawa kompleks lipida terbentuk dieksresikan
melalui membran sel ke media sebagai metabolit sekunder. Melalui D-glukosidase
yang digandengkan dengan monomer D-glukosa secara anhidropolimerisasi membentuk
1,4 D-glukosida. Senyawa tersebut adalah selulosa ekstraseluler yang menyerupai
gel (Moat, 1977 dalam KNLH, 2007).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan gel diantaranya :
1. Sumber karbon merupakan faktor penting
terhadap pembentukan gel. Menurut Suratiningsih (1994) dalam Nurhayati (2006),
bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mensintesis nata dari
glukosa, maltosa, maupun gliserol. Macam dan kadar gula yang ditambahkan akan
mempengaruhi ketebalan dan sifat nata yang terbentuk. Sukrosa sering
digunakan sebagai sumber karbon, karena merupakan gula lokal, harganya murah
dan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal. Penambahan gula 5-8 % dapat
memicu pertumbuhan optimal bakteri. Penambahan gula terlalu banyak kurang
menguntungkan, selain mengganggu aktivitas bakteri juga mengakibatkan penurunan
pH secara drastis (KNLH, 2007).
2. Sumber nitrogen diperlukan untuk
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum
yang dapat diperoleh dari yeast ekstrak,
natrium nitrat, urea, ammonium sulfat. Di
dalam fermentasi apabila nitrogen tidak tersedia maka nata tidak akan
terbentuk (Nurhayati, 2006).
3. Tingkat keasaman media fermentasi juga
berpengaruh terhadap hasil nata. Menurut
Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), semakin rendah pH media
fermentasi diperoleh nata yang semakin tebal. Hal ini
disebabkan semakin terseleksinya pertumbuhan mikroba akibat turunnya pH, maka Acetobacter
xylinum akan semakin sedikit mendapat saingan dengan mikroba yang lain
untuk mendapat nutrien dari media pertumbuhannya. Banyak penelitian setuju
bahwa pH optimum untuk menghasilkan selulosa antara pH 4 sampai 6 dengan nilai
maksimum pada 5 sampai 5,5 (Hestrin et al., 1954, Lapuz et al., 1967,
Masaoka et al., 1993, Embuscado et al., 1994 dalam Hafzialman,
2011).
4. Suhu juga merupakan faktor yang penting untuk
pertumbuhan bakteri Acetobacter, hal ini mengingat bahwa mikroba
tertentu mempunyai suhu optimum untuk bisa hidup. Menurut Sunarso (1992) dalam
Nurhayati (2006), suhu inkubasi fermentasi sangat berpengaruh terhadap
pembentukan nata. Suhu inkubasi 28–31 ⁰C merupakan suhu optimal bagi
pembentukan nata yang akan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal.
5. Kebutuhan oksigen, bakteri Acetobacter
xylinum bersifat aerob sehingga
selama fermentasi diperlukan keberadaan oksigen (KNLH, 2007). Kata nata berasal dari bahasa Spanyol yang
berarti krim. Nata diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin sebagai natare
yang berarti terapung-apung (Nata De Coco Indonesia, 2011). Nata dapat dibuat dari bahan baku air kelapa dan
limbah cair pengolahan tahu. Nata yang dibuat dari air kelapa disebut dengan nata de coco, dan dari limbah cair tahu disebut dengan nata de soya. Bentuk, warna,
dan rasa kedua jenis nata tersebut
tidak berbeda (Rizka & Ninda, 2008 dalam Legiyon, 2011 ). Menurut Mulyati,
2010 dalam Pratiwiningrum, 2011, dari segi rasa nata de coco hampir sama dengan nata
de cassava, yang membedakan adalah kekenyalannya karena kandungan serat nata de cassava yang lebih tinggi.
Seperti halnya dengan nata de cassava,
nata de soya juga memiliki kandungan
serat yang tinggi. Kandungan serat nata de coco dan nata de soya berturut–turut
yaitu 8,51 % dan 10,60 % (Sutriah dan
Sjahriza, 2000 dalam Legiyon, 2011).
Nata de soya adalah selulosa yang mengandung air sekitar
98% dengan tekstur kenyal, kokoh, putih, dan transparan dengan rasa yang mirip
kolang-kaling. Produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan yang rendah
kalori untuk keperluan diet dan mengandung serat yang sangat dibutuhkan dalam
proses fisiologi (Cahyadi, 2009).
Menurut
hasil analisis gizi, nata de soya tergolong
produk pangan yang bergizi tinggi terutama pada kandungan karbohidrat,
protein dan serat kasar. Data tersebut membuktikan bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mengubah air
limbah tahu yang tidak bernilai menjadi suatu produk bernilai gizi tinggi
(Enie & Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011). Kandungan gizi nata de soya dan air limbah tahu dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel
2.2 Kandungan gizi nata de soya dan
air limbah tahu dalam 100 gram
(Enie
& Supriatna, 1993 dalam Legiyon, 2011 )
Zat Gizi(satuan)
|
Nata
De Soya
|
Air Limbah Tahu
|
Karbohidrat
(g)
|
20
|
2
|
Protein
(g)
|
2,35
|
1,75
|
Lemak
(g)
|
1,68
|
1,25
|
Serat
Kasar (g)
|
3,2
|
0,001
|
Kalsium
(mg)
|
4,6
|
4,5
|
Pembentukan nata de soya terjadi karena proses pengambilan glukosa dari dalam
limbah cair tahu oleh sel-sel Acetobacter
xylinum. Kemudian glukosa tersebut
digabungkan dengan asam lemak membentuk prekusor pada membran sel dan bersama
enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel (Cahyadi, 2009).
Produk
gel terbentuk melalui mekanisme
biokonversi oleh mikrobia yaitu proses perubahan substrat menjadi suatu
substansi menyerupai benang-benang polisakarida (Stainer et al, 1963 dalam KNLH, 2007). Substrat yang biasa digunakan
sebagai media pembentukan nata antara
lain air kelapa, sari nenas, limbah cair tahu dan lainnya atau bahan-bahan lain
yang mengandung nutrisi untuk pertumbuhan bakteri pembentuk gel. Bila bakteri
tersebut ditumbuhkan pada media tersebut yang mengandung gula, maka bakteri
akan mengkonversi sekitar 19 % gula tersebut menjadi selulosa (gel). Gel yang
dihasilkan merupakan polimer dari gula ikatan 1,4–glukosa glukosida (Atyh et al, 1995 dalam KNLH, 2007). Selulosa yang disekresikan ke medium
berupa benang-benang yang bersama-sama dengan polisakarida berlendir membentuk
suatu jalinan membentuk menyerupai kristal putih (Djide, 1994 dalam KNLH, 2007).
Proses pembentukan gel dimulai dengan
proses kimiawi yaitu glikolisis. Karbohidrat yang berasal dari medium
dihidrolisis melalui cara asam (asam asetat) maupun secara enzimatis yang
merupakan penyusunan polisakarida selulosa (Yusuf, 1992 dalam KNLH, 2007).
Sukrosa pada proses glikolisis dengan hidrolisis asam menghasilkan D-glukosa
dan D-fruktosa. Secara sederhana proses pembentukan selulosa secara kimiawi
dapat digambarkan :
Karbohidrat yang ada dalam media dipecah
menjadi senyawa-senyawa sederhana misalnya menjadi glukosa untuk digunakan
sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel-sel mikrobia. Bila dalam media
konsentrasi karbohidrat kurang, maka kemampuan mikrobia untuk membentuk gel
tidak berjalan dengan optimal bahkan mengalami kegagalan.
Secara teoritis pembentukan selulosa
cukup unik, karena bakteri mensintesis alat pelindung diri untuk mencegah
terhadap faktor lingkungan yang kurang menguntungkan dengan cara menjerat diri
dalam selulosa yang dibentuknya, tetapi cara ini tidak selamanya menguntungkan
karena penjeratan yang terlalu ketat justru dapat mematikan bakteri itu sendiri
karena tidak tersedianya faktor kehidupan cukup untuk berlangsungnya aktivitas
bakteri manakala selulosa telah menebal.
Nampak bahwa proses secara biokimiawi
ini dapat dibentuk manakala terdapat pemicu reaksi berupa enzimatis. Sumber
enzimatis ini dapat diperoleh melalui kegiatan metabolisme suatu mikrobia.
Terlihat bahwa tanpa adanya reaksi kimia yang memicu, maka proses pembentukan
gel ini tidak terjadi. Reaksi selanjutnya dapat berlangsung melalui bantuan
D-glukosidase, D-glukosa dihidrolisis lagi menjadi D-glukosida. Tiap monomer
yang terbentuk dalam siklus pentosa posfat, diaktifkan oleh ATP membentuk
D-glukosa 6-P. Selanjutnya senyawa kompleks lipida terbentuk dieksresikan
melalui membran sel ke media sebagai metabolit sekunder. Melalui D-glukosidase
yang digandengkan dengan monomer D-glukosa secara anhidropolimerisasi membentuk
1,4 D-glukosida. Senyawa tersebut adalah selulosa ekstraseluler yang menyerupai
gel (Moat, 1977 dalam KNLH, 2007).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan gel diantaranya :
1. Sumber karbon merupakan faktor penting
terhadap pembentukan gel. Menurut Suratiningsih (1994) dalam Nurhayati (2006),
bahwa bakteri Acetobacter xylinum mampu mensintesis nata dari
glukosa, maltosa, maupun gliserol. Macam dan kadar gula yang ditambahkan akan
mempengaruhi ketebalan dan sifat nata yang terbentuk. Sukrosa sering
digunakan sebagai sumber karbon, karena merupakan gula lokal, harganya murah
dan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal. Penambahan gula 5-8 % dapat
memicu pertumbuhan optimal bakteri. Penambahan gula terlalu banyak kurang
menguntungkan, selain mengganggu aktivitas bakteri juga mengakibatkan penurunan
pH secara drastis (KNLH, 2007).
2. Sumber nitrogen diperlukan untuk
pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum
yang dapat diperoleh dari yeast ekstrak,
natrium nitrat, urea, ammonium sulfat. Di
dalam fermentasi apabila nitrogen tidak tersedia maka nata tidak akan
terbentuk (Nurhayati, 2006).
3. Tingkat keasaman media fermentasi juga
berpengaruh terhadap hasil nata. Menurut
Sunarso (1992) dalam Nurhayati (2006), semakin rendah pH media
fermentasi diperoleh nata yang semakin tebal. Hal ini
disebabkan semakin terseleksinya pertumbuhan mikroba akibat turunnya pH, maka Acetobacter
xylinum akan semakin sedikit mendapat saingan dengan mikroba yang lain
untuk mendapat nutrien dari media pertumbuhannya. Banyak penelitian setuju
bahwa pH optimum untuk menghasilkan selulosa antara pH 4 sampai 6 dengan nilai
maksimum pada 5 sampai 5,5 (Hestrin et al., 1954, Lapuz et al., 1967,
Masaoka et al., 1993, Embuscado et al., 1994 dalam Hafzialman,
2011).
4. Suhu juga merupakan faktor yang penting untuk
pertumbuhan bakteri Acetobacter, hal ini mengingat bahwa mikroba
tertentu mempunyai suhu optimum untuk bisa hidup. Menurut Sunarso (1992) dalam
Nurhayati (2006), suhu inkubasi fermentasi sangat berpengaruh terhadap
pembentukan nata. Suhu inkubasi 28–31 ⁰C merupakan suhu optimal bagi
pembentukan nata yang akan menghasilkan nata yang tebal dan kenyal.
5. Kebutuhan oksigen, bakteri Acetobacter
xylinum bersifat aerob sehingga
selama fermentasi diperlukan keberadaan oksigen (KNLH, 2007).